PENDAHULUAN
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.
Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah perlu sekali.
PENGERTIAN QAWA’ID FIQHIYAH
Qawai’d merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
اَلْقَضَايَا اْلكُلِّيَةُ الَّتِىيَنْدَرِجُ تَحْتَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهَاحُكْمُ جُزْ ىِٔيَّاتٍ كَثِيْرَةٍ
”Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
حُكْمُ كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ عَلٰى جَمِيْعِ جُزْىِٔيَّاتِهِ
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
مَنْ يُرِدِاللهُ بِهِ خَيْرًايُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ ( رواه البخارى ومسلم)
"Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama".Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
SUMBER-SUMBER QAWA’ID FIQHIYAH
Adapun sumber-sumber Qawaid Fiqhiyyah di antaranya :
A. Al quran
Al Quranul Karim merupakan sumber pokok dan dalil utama bagi hukum syariat Islam. Kumpulan firman – firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan dinukilkan dengan jalan mutawatir.
Ayat – ayat Al quran Allah turunkan dengan cara yang terpisah – pisah menurut kejadian dan peristiwa dalam masyarakat pada waktu itu. Oleh karena itu peristiwa tersebut di dalam istilah hukum Islam di sebut asbabun nuzul.
Aturan – aturan hukum syariat ini berlakunya berangsur – angsur menurut situasi sebab – sebab turunnya ayat, disesuaikan dengan kemampuan umat pada masa dahulu. Membutuhkan stategi tepat untuk pendekatan kepada masyarakat jahiliyyah untuk meninggalkan kebiasaan yang dilarang oleh syariat Islam dan mengubah hukum mereka yang sudah kuno dengan hukum baru. Hal itu dapat dilihat dengan jelas seperti aturan larangan minum khamar dan maisir.
Kebanyakan hukum yang ada dalam Al quran bersifat umum dan tidak membicarakan soal – soal juz’i, dengan artian tidak satu persatu dijelaskan secara rinci dalam Al quran. Karena itu, Al quran membutuhkan penjelasan – penjelasan. Di antaranya melalui Hadits. Dapat diketahui bahwa ayat Al quran yang umum seperti masalah shalat, zakat, jihad dan urusan – urasan lainnya, dijelaskan dengan Hadits. Selain itu, untuk menyingkapi persoalan kekinian yang membutuhkan jawaban untuk persoalan ini, maka para ulama menggunakan ijma’ dan qiyas dalam mengambil suatu hukum.
Qawaid Fiqhiyyah bersumber dari teks Al quran untuk menyusun suatu kaidah, seperti kaidah
المشقة تجلب التيسير (Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan).
Dalil yang menjadi patokan dari kaidah ini yaitu dalam surat AlBaqarah ayat 185:
يريد الله بكم ليسر ولا يريد الله بكم العسر
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu . . ." Surat Al-Baqarah ayat 286
لا يكلف الله نفسا الا وسعها
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
Dari prinsip-prinsip yang termuat dalam teks ayat di atas memberikan isyarat bahwa dalam hukum syar’i tidak didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hambanya. Pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan.
Dan contoh kaidah lain yaitu الضرر يزال ( Kemudharatan itu harus dihilangkan), ayat Al quran yang senada dengan kaidah ini adalah surat Al-Baqarah ayat 231:
ولا تمسكوهن ضراراً لتعتدوا
“janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka”
B. Sunnah
Sunnah merupakan segala yang dinukilkan atau diberitakan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan nabi. Melihat dari pengertian di atas, sunnah dapat dibagi atas : Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah, dan Sunnah Taqririyyah.
Sunnah ada kalanya mutawatir dan ada kalanya ahad. Ulama sepakat bahwa hadits mutawatir dapat menjadi hujjah. Berkenaan hadits ahad, para ulama berbeda pendapat dalam menjadi kan hadits ahad sebagai hujjah. Namun hadits yang shahih yang dapat diterima untuk dijadikan hujjah, dan menjadi sumber kaidah.
Rasulullah saw selalu menyampaikan segala sesuatu dengan cara singkat, padat, lugas dan mudah dipahami. Dengan demikian, ucapan beliau banyak menjadi inspirasi dalam lahirnya qawaid fihiyyah. Contoh kaidah yang merujuk kepada sunnah atau hadits yaitu :
الأمور بمقاصدها ( hukum semua perkara itu sesuai dengan tujuan atau niatnya)
Kaidah ini berkaitan dengan dalil hadits yang disampaikan oleh Rasulullah yang berbunyi,
الاعمال بالنياتانما
“sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niatnya”.
Contoh lain seperti kaidah الضرر يزال ( kemudharatan itu harus dihilangkan).
Kaidah ini sama dengan hadits Nabi sawyang isinya
لا ضرر ولا ضرار (رواه ابن ما جه)
“Tidak boleh membuat mudharat terhadap diri sendiri dan tidak b oleh memudharatkan orang lain”
C. Ijma’
Setelah Al Quran dan Sunnah, maka Ijma’ sebagai sumber ketiga menurut para ulama sebagai sumber hukum syari’at Islam. Ijma’ merupakan suatu kemufakatan atau kesatuan pendapat para ahli muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai sesuatu ketentuan hukum syari’at.
Ijma’ sebagai hujjah dengan berdasarkan dalil
ياايها الذين امنوا اطيعوا الله و اطيعوا الرسول و اولي الأمر منكم
“wahai orang – orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan ulil amri dari kamu sekalian...”
Adapun kaidah yang berdasarkan pada ijma’ yaitu :
لا اجتهاد مع النص
“ Tidak ada ijtihad jika sudah ada nash”
D. Ijtihad
Ijtihad dalam pengertian bahasa yaitu meluangkan kesempatan dan mencurahakan kesungguhan. Adapun dalam pengertian istilah yaitu meluangkan kesempatan dalam usaha untuk mengetahui ketentuan – ketentuan hukum dalam dalil Syari’at
Segala persoalan hukum ulama – ulama mujtgahid selalu memakai ketentuan – ketentuan nash kecuali jika pada suatu persoalan tidak terdapat dalil nash mengungkapkan, maka disini mereka mengqiyaskan perkara ini kepada perkara lain yang memiliki sama illatnya.
Dalam ijtihad, adapun contoh kaidah yang digunakan yaitu “ijtihad yang lalu, tidak bisa dibatalkan ijtihad yang baru”
Hal ini berdasarkan perkataan dari Umar Bin Kattab :
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Dari kaidah di atas maksudnya yaitu ijihat yang satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, tidak dapat diganggu gugat, selagi tidak ada ijtihad yang lebih kuat yang dapat membantah.
E. Qiyas
Qiyas dari segi bahasa merupakan mengukurkan sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya.
Secara istilah ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
Adapun rukun qiyas ada empat macam
1. Asal (pokok) yaitu yang menjadi ukuran (maqis ‘alaih)
2. Far’un (cabang) yaitu yang diukur (maqis) atau yang diserupakan
3. Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabang
4. Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok.
Salah satu kaidah yang mirip dengan qiyas yaitu
الحوادث تضاف الي اقرب الأوقاف
“sesuatu yang baru terjadi disandarkan pada waktu terdekatnya”
F. Istihsan
Istihsan ialah meninggalkan hukum sesuatu hal/peristiwa yang bersandar kepada dalil syara’ menuju kepada hukum lain yang bersandar kepada dalil syara’ pula, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan peninggalan tersebut.
Dalam istihsan, ada dua dalil untuk menetapkan hukum sesuatu hal, kemudian seseorang mujtahid meninggalkan salah satu dalil yang jelas/ kuat untuk menuju kepada dalil yang lain, karena ada sesuatu hal.
Salah satu kaidah yang menjadikan istihsan sebagai sumber qawaid yaitu
“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan dikerjakan lebih ringan kepada mudaratnya”
G. Istishab
Dari segi bahasa perkataan Istishab diambil dari perkataan “istishabtu ma kaana fil maadhi” artinya saya membawa serta apa yang telah ada waktu yang lampau sampai sekarang.
Secara istilah, melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena sesuatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
Contoh kaidah yang merujuk kepada istishab:
الاصل بقاء ما كان علي ما كان ما لم يكن ما يغيره
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”
H. Mashlahah Mursalah
Merupakan kebaikan (mashlahah) yang tidak disinggung-singgung syara’, untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan.
Salah satu kaidahnya
أنه يقدم في كل ولاية من هو
“Sesuatu yang lebih mampu mewujudkan kemaslahatan dalam tiap wilayah lebih didahulukan”
I. Urf
‘Urf ialah apa yang biasa dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan kata lain ialah adat istiadat.
Alasan pengambilan ‘Urf diantaranya:
1. Syari’at Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan urf yang berlaku padda bangsa Arab, seperti syarat kafaah dalam perkawinan dan urut-urutan perwalian dalam nikah dan pewarisan harta pusaka atas dasar ashabah.
2. Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman hidup mereka yang membutuhkan.
Salah satu contoh kaidah yang menjadikan Urf sebagai sumber qawaidnya
العادة محكمة
“adat istiadat itu ditentukan sebagai hukum”
J. Sadduz Zari’ah
Yaitu menumbat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.
Salah satu rujukan kaidah yaitu:
درء المفاسد مقدم على جالب المصالح
“Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan”
PENERAPAN QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah-kaidah fiqhiyah mempunyai implementasi dan contoh penerapan yang cukup banyak, baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun mu’amalah (intraksi antara sesama manusia). Diantara contohnya. Apabila seseorang mewakafkan tanah dengan mengatakan, “Tanah ini saya wakafkan untuk orang-orang fakir”. Maka konsekuensi dari perkataan ini adalah yang berhak memanfaatkan tanah wakaf tersebut hanyalah orang-orang yang tergolong fakir, tidak selainnya. Karena dalam perkataan tersebut ada pengikatnya secara khusus, sehingga harus diterapkan sesuai dengan ikatannya tersebut. Ini adalah contoh pengikat dan menyebutkan sifat. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk Ahmad dan Zaid, dengan perincian, Ahmad dua pertiga dan Zaid sepertiga”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk anak-anak Ahmad kecuali anak yang fasik”. Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut. Contoh tersebut merupakan penerapan dari salah satu Qawa’id Fiqhiyah yang berbunyi: “Memahami Keumuman Dan Kekhususan Sebuah Kalimat”
KESIMPULAN
Al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan kaidah bersifat umum meliputi sejumlah masalah fiqh dan melaluinya dapat diketahui hukum masalah fiqh yang berada dalam lingkupnya. Al-qawaid al-fiqhiyyah yang dirumuskan para ulama yang tidak langsung terambil dan berdasarkan nash tidak dapat dipakai sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam. Sebab, tidak logis menjadikan sesuatu yang merupakan himpunan dari sejumlah persoalan furû’ (fiqh) sebagai dalil dari dalil syara’. Namun, apabila kaidah fiqh itu langsung didasarkan dan disandarkan pada dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash), ia dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum.
Syafe’i, Prof. DR. Rachmat, MA, Ilmu Ushul Fiqih (Penerbit Pustaka Setia, Bandung. 2007)
Djazuli, Prof. H.A, Kaidah-Kaidah Fikih (Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2006).
Abdul Salam, Zarkasji, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (Lembaga Studi Islam, Yogyakarta. 1994).
Ash-Shiddieqiy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Pengantar Hukum.
Abbas, Ahmad Sudirman. 2008. Sejarah Qawaid Fiqhiyyah. Ciputat : Adelina. 2008. Qawaid Fiqhiyyah.Ciputat : Adelia
Hanafie, A. 1962. Usul Fiqh. Jakarata : Widjaya
Sudjono, Ahmad.1981. Alih Bahasa : Filsafat Hukum dalam Islam. Bandung : Almaarif
http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/02/kedudukan-al-qawaid-al-fiqiyyah-dalam.html
tolong diperbaiki lagi penulisannya "المشقة تجلب التيسير"