BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Secara historis, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak masa-masa awal Islam, yakni pada zaman Nabi Muhammad saw, dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in serta masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan mendatang dengan mengalami pasang surut dan karakteristiknya masing-masing. Bahwa ijtihad itu telah ada sejak zaman Rasul saw, antara lain dapat dilacak dari riwayat ‘Amr bin ‘Ash yang mendengar Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ الدَّرَاوَرْدِيُّ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي قَيْسٍ، - مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ - عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ:"إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ"
“Apabila seorang hakim hendak menetapakan suatu hukum kemjudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya maka untuknya satu pahala”.[1]
“Apabila seorang hakim hendak menetapakan suatu hukum kemjudian dia berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka baginya dua pahala, dan apabila dia hendak menetapkan hukum kemudian dia berijtihad dan ternyata salah ijtihadnya maka untuknya satu pahala”.[1]
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan panduan dari Dosen, dalam makalah ini akan membahas mengenai ijtihad dengan sub tema sebagai berikut :
1. Pengertian ijtihad
2. Syarat-syarat mujtahid
3. Tingkatan mujtahid
4. Contoh ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ لإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ حكْمٍ شرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
"Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.”[2]
Dalam alquran, istilah ijtihad terdapat pada surat An Nahl :38, An Nur :53 dan Al Fathir : 42. Istilah ijtihad disitu memiliki makna pengerahan segala kemampuan dan kekuatan.
Sedangkan menurut terminology, sebagaimana menurut Abu Zahrah (t.th : 379), secara istilah, arti ijtihad ialah Upaya seorang ahli fiqih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum hukum amaliah yang diambil dari dalil dalil yang rinci.[3]
Adapun pengertian ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.[4]
2.2 Syarat-syarat Mujtahid
Untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad. Pintu ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu diperlukan. Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid.
Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para ulama ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu:
1. Menguasai bahasa arab
Di kalangan ulama ushul telah ada kesepakatan tentang mutlaknya seorang mujtahid mengetahui (menguasai) bahasa arab dengan berbagai aspeknya, seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain. Persyaratan ini sangat penting karena orientasi pertama seorang mujtahid adalah memahami nash-nash Alquran dan hadist yang notabene keduanya berbahasa arab.
Dalam masalah penguasaan bahasa arab, al-Gazali memberikan batasan tentang kadar yang harus diketahui oleh mujtahid, yakni mampu mengetahui khitab (pembicaraan) bangsa arab dan adat kebiasaan mereka dalam mempergunakan bahasa arab.[5]
2. Mengetahui nash-nash Alquran
2. Mengetahui nash-nash Alquran
Seorang mujtahid harus mengetahui hukum-hukum syar’iyyah yang terdapat dalam Alquran dan ayat-ayat yang menyebutkan hukum-hukum tersebut, serta cara-cara mengambil atau memetik hukum itu dari ayatnya. Berdasarkan inilah mujtahid mengistimbatkan hukum.
Akan tetapi, apakah seorang mujtahid harus hafal seluruh Alquran yang terdiri atas 30 juz dan 114 surat tersebut? Di kalangan ahli ijtihad terdapat perbedaan pendapat tentang keharusan semacam itu. Imam syafi’i, konon diberitakan sebagai salah satu ulama yang mensyaratkan mujtahid harus hafal seluruh Alquran. Sebagian ulama lain tidak mensyaratkan keharusan semacam itu, akan tetapi menganggap cukup hanya dengan mengetahui ayat-ayat hukum sehingga kapan dan dimana perlu mujtahid dapat merujuk kepadanya. Imam Gazali salah seorang dari kalangan madzab syafi’i yang tidak mensyaratkan mujtahid harus hafal seluruh Alquran.
3. Mengetahui tentang sunnah
Seorang mujtahid harus mengetahui hukum-hukum syara’ yang disebut oleh sunnah nabi, sekiranya mujtahid mampu menghadirkan sunnah yang menyebutkan hukum pada tiap-tiap bab dari perbuatan mukallaf, mengetahui peringkat sanadnya, dari segi keshahihanya atau kedhaifanya dalam periwayatan.
Persyaratan ini dipandang penting bagi mujtahid antara lain karena mengingat fungsi hadist (temasukdi dalamnya hadist-hadist hukum) sebagai penjelas (mubayyin) Alquran.
4. Mengetahui segi-segi qiyas
Mujtahid harus mengetahui tentang ‘illat dan hikmah pembentukan hukm yang karenanya hukum disyari’atkan. Mengetahui jalur-jalur yang dipergunakan oleh Syari’ untuk mengetahui ‘illat hukumnya. Mujtahid juga harus mengetahui terhadap ihwal manusia dan muamalah mereka, sehingga mujtahid dapat mengetahui suatu kasus yang tidak ada nashnya yang terbukti ‘illat hukumnya. Dan juga harus mengetahui tentang kemaslahatan manusia dan adat istiadat mereka, serta suatu yang menjadi perantara kepada kebaikan dan keburukan mereka.
Dari uraian di atas sudah jelas betapa ijtihad sangat diperlukan guna memahami dengan benar maksud-maksud syari’at dan bagaimana dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di samping itu, dapat di mengerti pula bahwa tidak semua orang mampu dan boleh berijtihad, mengingat betapa kompleksnya upaya ijtihad. Ulama telah menyepakati beberapa persyaratan bagi siapa yang dapat dianggap sebagai mujtahid. Hal ini semata-mata digariskan oleh ulama sebagai hal yang mutlak perlu menurut akal sehat dan juga mengambil teladan dari imam besar, mujtahid di masa lalu yang memiliki sifat-sifat itu.
2.3 Tingkatan mujtahid
Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Namun, mereka membedakan derajat mujtahid ke dalam beberapa martabat dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah. Beberapa tingkatan mujtahid itu adalah:
1. Mujtahid Mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at langsung dari sumbernya yang terpokok ( Alquran dan Sunnah) dan dalam mengistimbatkan hukum mujtahid mempunyai dasar-dasar istimbat sendiri, tidak mengikuti istimbat orang lain. Mustahid mustaqil ini lazim disebut dengan istilah mujtahid mutlak.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam mengistimbatkan hukum mengikuti (memilih) ushul istimbat imam madzab tertentu, walaupun dalam masalah-masalah furu’ dia berbeda pendapat dengan imamnya.
3. Mujtahid Madzab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzabnya baik dalam masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya tidak dia peroleh dari imam madzab yang di anutnya.
4. Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum asal), akan tetapi dia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang di pandang paling kuat.
5. Mujtahid Mustadil, yaitu ulama yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada, akan tetapi dia mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangkan mana yang patut dipegang ( di ikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu.[6]
2.4 Contoh ijtihad
Salah satu contohnya adalah penetapan hukum tentang bayi tabung yang mana pada masa Rasulullah bayi tabung belum ada. Akhir akhir ini bayi tabung dijadikan solusi oleh orang yang memiliki masalah dengan kesuburan kandungan. Jadi dengan cara ini berharap dapat memenuhi pemecahan masalah agar dapat memperoleh keturunan.
Para ulama telah merujuk kepada hadist-hadist agar dapat menemukan hukum yang telah dihasilkan oleh teknologi ini dan menurut MUI bayi tabung dengan sperma dan ovum suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh) karena hal ini merupakan Ikhtiar yang berdasarkan agama.
Sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari suami isteri yang menitipkan ke rahim perempuan lain. Jika ada yang demikian maka hal ini memiliki hukum haram. Alasannya karena akan menimbulkan masalah yang rumit dikemudian hari terutama soal warisan.[7]
Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dengan kata lain ijtihad atau jihad intelektual adalah upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi suatu aturan dan untuk mengubah aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan di dalamnya dengan suatu solusi yang baru pula.
Untuk menghindari kesalahan dan jebakan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad.
Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para ulama ushul ialah syarat-syarat yang berkenaan dengan soal keilmuan, yaitu :
1. Menguasai bahasa arab
2. Mengetahui nash-nash Alquran
3. Mengetahui tentang sunnah
4. Mengetahui segi-segi qiyas
Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Beberapa tingkatan mujtahid adalah
1. Mujtahid Mustaqil
2. Mujtahid Muntasib
3. Mujtahid Madzab
4. Mujtahid Murajjih
5. Mujtahid Mustadil
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Damaskus: Daar al- fikr
Zuhri, Moh. dan Qarib, Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Toha Putra Group, 1994.
Yusdani, Amir Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi, Yogyakarta : UII PRESS, 2004.
Yahya, Muhtar dan Rahman, Fatkhur, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum fiqh Islami, Bandung : PT Alma’arif, 1986.
Abdullah Amin, Madzhab, Jogja, Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002.
Labib, Muhsein, Dasar-Dasar Hukum Islam, Malang : Yayasan Al-Kautsar, 1994.
Dr. H. Moh. Rifai, Fiqh, (Semarang: CV. Wicaksana, 2003),
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)
[2] . Dr. H. Moh. Rifai, Fiqh, (Semarang: CV. Wicaksana, 2003), hal. 12
[3] . Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Damaskus: Daar al- fikr
[4] . M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 33
[6] . Ibid. Hal. 59
[7] . http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/05/08/114856-apa-hukum-bayi-tabung-menurut-islam-